1. Hakekat manusia
Dalam menciptakan manusia untuk menjadi khalifahNya di planet bumi ini, Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencukupi keperluan khalifahNya itu sejak masih berwujud benih janin di dalam rahim ibunya. Persiapan itu mencakup penyediaan berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang berada di dalam dan di luar diri manusia. Penciptaan manusia merupakan wujud sosok diri yang final, utuh dan unik sebagai suatu sistem yang sempurna, tidak ada kekurangan sesuatu apa pun padanya.
Subsistem-subsistem pendukung keberadaan manusia juga diciptakan dengan sangat sempurna, baik untuk keperluan pertumbuhan fisiknya maupun untuk perkembangan sukma atau rohnya. Demikian juga pelayanan dan kemudahan-kemudahan yang berada di luar dirinya yaitu lingkungan yang harus diakrabi selama hidupnya, semua telah disiapkan dengan sangat sempuma. Kepada khalifahNya Tuhan memberikan petunjuk-petunjuk agar khalifahNya itu dapat selamat dalam menunaikan tugas kehidupan yang harus dijalaninya. Petunjuk-petunjuk tersebut disampaikan oleh Tuhan kepada khalifahNya melalui ayat-ayat tertulis yang diabadikan di dalam Kitab-kitab Suci yang diturunkan dengan perantaraan para RasulNya. Ayat-ayat yang tidak tertulis oleh Tuhan disampaikan melalui media ciptaanNya yang berupa misteri-misteri di dalam diri pribadi seseorang, di dalam diri pribadi orang lain, pada mahluk selain manusia, pada alam sekitar, dan pada alam semesta.
Sebagai pribadi yang unik manusia dibekali dengan potensi kecakapan untuk mampu berdialog dengan ayat-ayat tersebut, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kesernuanya itu disediakan sebagai potensi yang perlu dikembangkan lebih lanjut oleh orang tua, mayarakat, negara dan bangsa, agar khalifah Tuhan itu dapat selamat dalam menempuh perjalanan hidup sampai bertemu kembali dengan Tuhan Penciptanya.
Potensi kecakapan untuk menempuh perjalanan hidup bagi seseorang merupakan bawaan yang telah melekat pada dirinya sejak dia tercipta. Tugas orang tua dan masyarakat adalah mengembangkan potensi itu melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan ikhlas sebagai ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa yang religius kegiatan ini merupakan wujud dari rasa syukur karena telah dikaruniai keturunan yang diharapkan akan dapat meneruskan kehidupan dan generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Negara dan bangsa sebagai kesatuan keluarga dan masyarakat mewujudkan rasa syukur itu dengan menciptakan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik negara dan bangsanya. Oleh karena itu negara dan bangsa menciptakan sekolah sebagai tempat untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup (life skills) anak-anak bangsanya dengan cara yang lebih sistematis dan terarah melalui pendidikan formal. Tugas lembaga pendidikan sebagai subsistem pendidikan nasional adalah melaksanakan pendidikan untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup, sejajar bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain.
Dalam menciptakan manusia untuk menjadi khalifahNya di planet bumi ini, Tuhan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencukupi keperluan khalifahNya itu sejak masih berwujud benih janin di dalam rahim ibunya. Persiapan itu mencakup penyediaan berbagai bentuk pelayanan dan kemudahan yang berada di dalam dan di luar diri manusia. Penciptaan manusia merupakan wujud sosok diri yang final, utuh dan unik sebagai suatu sistem yang sempurna, tidak ada kekurangan sesuatu apa pun padanya.
Subsistem-subsistem pendukung keberadaan manusia juga diciptakan dengan sangat sempurna, baik untuk keperluan pertumbuhan fisiknya maupun untuk perkembangan sukma atau rohnya. Demikian juga pelayanan dan kemudahan-kemudahan yang berada di luar dirinya yaitu lingkungan yang harus diakrabi selama hidupnya, semua telah disiapkan dengan sangat sempuma. Kepada khalifahNya Tuhan memberikan petunjuk-petunjuk agar khalifahNya itu dapat selamat dalam menunaikan tugas kehidupan yang harus dijalaninya. Petunjuk-petunjuk tersebut disampaikan oleh Tuhan kepada khalifahNya melalui ayat-ayat tertulis yang diabadikan di dalam Kitab-kitab Suci yang diturunkan dengan perantaraan para RasulNya. Ayat-ayat yang tidak tertulis oleh Tuhan disampaikan melalui media ciptaanNya yang berupa misteri-misteri di dalam diri pribadi seseorang, di dalam diri pribadi orang lain, pada mahluk selain manusia, pada alam sekitar, dan pada alam semesta.
Sebagai pribadi yang unik manusia dibekali dengan potensi kecakapan untuk mampu berdialog dengan ayat-ayat tersebut, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kesernuanya itu disediakan sebagai potensi yang perlu dikembangkan lebih lanjut oleh orang tua, mayarakat, negara dan bangsa, agar khalifah Tuhan itu dapat selamat dalam menempuh perjalanan hidup sampai bertemu kembali dengan Tuhan Penciptanya.
Potensi kecakapan untuk menempuh perjalanan hidup bagi seseorang merupakan bawaan yang telah melekat pada dirinya sejak dia tercipta. Tugas orang tua dan masyarakat adalah mengembangkan potensi itu melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan di dalam masyarakat yang dilakukan dengan ikhlas sebagai ungkapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa yang religius kegiatan ini merupakan wujud dari rasa syukur karena telah dikaruniai keturunan yang diharapkan akan dapat meneruskan kehidupan dan generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. Negara dan bangsa sebagai kesatuan keluarga dan masyarakat mewujudkan rasa syukur itu dengan menciptakan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik negara dan bangsanya. Oleh karena itu negara dan bangsa menciptakan sekolah sebagai tempat untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup (life skills) anak-anak bangsanya dengan cara yang lebih sistematis dan terarah melalui pendidikan formal. Tugas lembaga pendidikan sebagai subsistem pendidikan nasional adalah melaksanakan pendidikan untuk mengembangkan potensi kecakapan untuk hidup, sejajar bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain.
2. Perjalanan hidup manusia
Keberadaan seseorang di dunia ini memerlukan dimensi ruang dan dimensi waktu. Setiap orang memerlukan ruang untuk tempat wujud sosok fisiknya itu, karena dia sebelumnya tidak ada, kemudian ada (dilahirkan) dan akhirnya tidak ada lagi (meninggal dunia). Dia berada di salah satu tempat di planet bumi ini untuk berpijak, lalu tumbuh raganya dan berkembang sukma atau roh beserta potensinya untuk melangkahkan kaki menempuh perjalanan hidup sampai akhir hayatnya. Perjalanan hidup seseorang siapapun dia pasti dan selalu diawali dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian.
Di samping memerlukan ruang, keberadaan seseorang juga memerlukan waktu, karena dia berada dalam kurun waktu tertentu selama batas jatah usianya. Batas jatah usia (kamatian) seseorang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang meninggal ketika masih bayi, ada yang pada masa kanak-kanak, ada yang pada masa remaja, ada yang setelah dewasa, ada yang setelah masa tua, dan ada pula yang setelah sangat renta. Dalam perjalanan hidupnya sejak dia dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, dimensi waktu yang dilalui oleh sesorang pada saat ini senantiasa terdiri atas dimensi masa lalu, dimensi masa kini dan dimensi masa depan.
Dimensi masa lalu merupakan sejarah pengalaman yang menjadi pelajaran untuk manjalani hidup pada masa kini, dan kehidupan masa kini dijalani untuk mempersiapkan masa depan generasi penerusnya. Masa yang telah lalu disebut juga hari kemarin, dan masa kini atau waktu sekarang dikenal sebagai hari ini, sedangkan masa yang akan datang atau masa depan biasa disebut hari esok. Orang Inggris menamakannnya sebagai 'yesterday, today and tomorrow'.
Pada kehidupan suatu masyarakat atau suatu bangsa, demikian pula pada kehidupan umat manusia berlaku pula dimensi ruang dan waktu yang serupa. Oleh karena itu berdasarkan hasil belajar dari pengalaman hidup hari kemarin, hidup pada hari ini pada hakikatnya adalah mempersiapkan untuk menghadapi hari esok yang diperlukan bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi generasi keturunannya, bagi masyarakatnya, bagi bangsanya, dan juga bagi umat manusia secara keseluruhan.
Bagi para pemeluk agama yang percaya penuh terhadap kehidupan setelah mati, dalam mempersiapkan diri untuk hari esok, usaha seseorang tidak berhenti hanya untuk memenuhi keperluan hidupnya sampai dengan ia meninggal dunia. Persiapan tersebut juga dilakukan untuk memenuhi keperiuan perjalanan hidupnya setelah mati, yaitu setelah sukmanya terlepas dari raganya. Persiapan itu terwujud antara lain dalam berbagai upaya untuk senantiasa berbuat baik, beramal salih, mengerjakan sesuatu dengan ihklas, berbuat jujur, beramal jariah dan sejenisnya semata-mata untuk mendapatkan ridho dari Tuhan, sebagai persediaan atau bekal yang terbaik demi keselamatan dan ketenteraman hidupnya kelak di akhirat, yaitu masa yang abadi di alam baka, di suatu tempat yang paling aman dan damai yang benar-benar dapat membahagiakan bagi kehidupan rohnya.
Untuk mampu menjalani kehidupannya, sejak dilahirkan setiap orang telah dibekali dengan berbagai potensi untuk dapat mengenali teka-teki misteri tentang dirinya. Pengenalan ini dicapainya melalui daya fisiknya, melalui daya fikirnya, melalui daya emosionalnya dan melalui daya spiritualnya yang menyatu menjadi daya kalbu untuk melakukan dialog dan kemudian berkarya sesuai dengan aturan Tuhan, yaitu Sang Penciptanya. Hal ini dapat dianalogikan dengan potensi pada mahluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan, antara lain misalnya potensi untuk untuk hidup di air bagi ikan, potensi untuk terbang bagi burung, potensi untuk berkoloni bagi lebah, potensi untuk melata dan berpuasa bagi ular.
Upaya yang secara sadar dilakukan untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri pribadi setiap orang agar mampu menjalani kehidupan dikenal dengan nama mendidik. Mendidik yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat secara alamiah disebut sebagai pendidikan informal, sedangkan pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa secara bersistem melalui sekolah disebut sebagai pendidikan formal. Proses dan hasil dari kedua jenis pendidikan ini saling mendukung dan memperkuat antara yang satu dengan yang lainnya.
3. Kecakapan untuk hidup
Kata cakap memiliki beberapa arti. Pertama dapat diartikan sebagai pandai atau mahir, kedua sebagai sanggup, dapat atau mampu melakukan sesuatu, dan ketiga sebagai mempunyai kemampuan dan kepandaian untuk mengerjakan sesuatu. Jadi kata kecakapan berarti suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan sesuatu. Oleh karena itu kecakapan untuk hidup ('life skills') dapat didefinisikan sebagai suatu kepandaian, kemahiran, kesanggupan atau kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk menempuh perjalanan hidup atau untuk menjalani kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak sampai dengan akhir hayatnya. Seperti diuraikan di atas, potensi untuk dapat mengembangkan kecakapan untuk hidup ini telah ada pada setiap orang sejak ia dilahirkan. Waktu yang diperlukan untuk mengembangkan potensi pada manusia relatif lebih lama dan pada waktu yang diperlukan oleh binatang, karena pada binatang lebih didominasi oleh naluri biologis, sedangkan pada manusia di samping pengembangan naluri biologis masih diperlukan waktu persiapan yang lebih panjang untuk mengembangkan daya fisik, daya fikir, daya emosi dan daya spiritual yang terpadu menjadi daya kalbu.
Kemampuan kecakapan untuk menjalani kehidupan ini pada awalnya berkembang secara alamiah melalui pendidikan informal pada keluarga dan masyarakat. Kemudian secara formal upaya untuk mengembangkan dan memperkuat potensi yang telah ada ini dirancang dengan sistematis ke dalam suatu kurikulum untuk diberikan kepada anak didik melalui pendidikan di sekolah dengan alokasi waktu jam pelajaran tertentu pada setiap minggu, mulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah, sampai dengan Perguruan Tinggi. Berdasarkan hasil pendidikan informal yang diterima, hasil pengalaman yang diperoleh dan hasil pendidikan formal yang pemah diikuti dengan benar, selama menempuh perjalanan hidup seseorang temyata, bahwa kemampuan kecakapan untuk hidup ini dapat berkembang terus menjadi semakin kuat dan meningkat dalam kearifannya untuk mengarungi samudera kehidupan.
Kemajuan ini masih dapat diupayakan untuk meningkat lagi dan akan menampakkan wujudnya dengan sesuatu yang disebut dengan mutu. Pengalaman-pengalaman baru yang diperoleh dalam memecahkan berbagai masalah selama mengarungi kehidupan ini akan dapat menempa dan memperkuat kemampuan itu sehingga menjadi suatu mutu kehidupan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang lebih sulit dan semakin rumit.
Mutu kehidupan itu pun masih dapat ditingkatkan lagi sampai ke puncaknya. Tingkat kemampuan kecakapan untuk hidup yang tertinggi adalah apabila dalam menempuh perjalanan hidup itu sendiri selalu dilandasi dengan rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, lalu dijalani dan dihayati dengan penuh kepasrahan dan tawakal untuk mengikuti aturan Sang Pencipta, dengan cara yang apa adanya, cara yang santun, cara yang ikhlas dan cara yang indah, sebagai suatu seni hidup yang disebut 'The Art of Life*.
4. Pendidikan kecakapan untuk hidup
Dalam hampir semua kegiatan untuk menjalani kehidupan, persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh seseorang pada urnumnya berkisar pada empat persoalan besar yang sangat mendasar sebagai persoalan utama. Keempat persoalan besar itu adalah, pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain, ketiga persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi.
Agar dapat menghadapi keempat persoalan utama tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan adanya suatu kecakapan khusus yang minimal harus dapat dikuasai oleh seseorang. Untuk mempersiapkan hal itu secara dini, pada dasarnya perlu diupayakan dengan baik, sekurang-kurangnya empat jenis pendidikan kecakapan untuk hidup yang (Life Skills Education) yang harus dibekalkan kepada setiap orang.
Keempat jenis pendidikan kecakapan yang perlu diberikan untuk mempersiapkan seseorang agar dapat memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan atau kemampuan untuk menempuh perjalanan hidup itu, baik melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan non formal dan formal di sekolah, hendaknya mencakup 'personal skills education', 'social skills education', 'environmental skills education', dan 'vocational atau occupational skills education', yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Personal Skills Education' adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati-dirinya sebagai manusia yang menjadi khalifah atau wakil Sang Pencipta di planet bumi ini.
b. Social Skills Education' adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk bergaul secara baik dengan sesama manusia.
c. Environmental Skills Education' adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan lingkungan alam sekitamya, untuk menikmati keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.
d. Vocational atau Occupational Skills Education' adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan agar dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai dan menyenangi jenis pekerjaan tertentu. Jenis pekerjaan tertentu ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni sebagai mata pencaharian, yaitu menjadi bekal untuk bekerja mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari. Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi.
5. Kecakapan untuk menemukan jati diri
'Personal skills' atau kecakapan untuk memahami dan menguasai diri sendiri, yaitu suatu kemampuan berdialog yang perlu dimiliki oleh seseorang untuk dapat mengaktualisasikan jati diri dan menemukan kepribadian dengan cara menguasai serta merawat raga dan sukma atau jasmani dan rohani. Oleh karena itu pada dasarnya personal skills ini mencakup dua macam kemampuan yang saling berpengaruh, yaitu kemampuan yang bersifat ragawi atau jasmani atau 'physical' dan kemampuan yang bersifat sukmawi atau rohani atau 'non-physical'.
Kemampuan rohani ini dapat dikategorikan ke dalam tiga cabang kemampuan yang menyatu sebagai inti kemampuan kalbu yang bermoral pada diri seseorang, yaitu kemampuan yang bersifat intelektual, yang bersifat emosional, dan yang bersifat spiritual.
a. Kemampuan physical
Kemampuan physical dapat digambarkan sebagai kecakapan seseorang untuk menjaga kesehatan tubuh, raga atau jasmani sebagai tempat bersemayamnya roh. Orang bijak mengatakan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kemampuan ini sangat penting untuk dikuasai oleh setiap orang agar dia dapat melaksanakan tugas dan fungsi untuk bergerak secara leluasa dan bebas hambatan dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Hasil dari kemampuan physical ini adalah daya fisik yang prima pada diri seseorang. Wujud fisik yang prima antara lain adalah dapat menangkal berbagai kemungkinan datangnya bermacam-macam penyakit yang sewaktu-waktu dan secara leluasa ingin singgah ke dalam tubuhnya. Untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan-latihan jasmani dan kesehatan. Kalau ada kelemahan, kesulitan atau hambatan dalam upaya penguasaan 'physical skills', maka titik berat penanganannya perlu dimintakan bantuan kepada ahli olah raga, ahli kesehatan atau kepada dokter.
b. Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual yang disebut juga kemampuan akal dapat digambarkan sebagai kecakapan seseorang untuk menguasai cara berdialog dengan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk dapat menguak misteri dari berbagai keberadaan alam fisik dan alam gaib yang telah disediakan oleh Sang Pencipta. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, daya fikir seseorang menjadi semakin terlatih untuk menemukan sumber kebenaran melalui kemampuan berbahasa, kemampuan berhitung dan melihat ruang, kemampuan menganalisis, dan kemampuan menganalogikan. Kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk membaca, menulis, mendengarkan, bercerita, mengungkapkan gagasan dan berkomunikasi. Kemampuan berhitung atau kemampuan matematika adalah kemampuan untuk memahami angka, bidang, ruang dan logika. Kemampuan menganalisis adalah kemampuan untuk menghubungkan secara kritis satu fakta dengan fakta-fakta lainnya. Kemampuan menganalogikan adalah kemampuan untuk mengambil kesimpulan dan berbagai informasi yang tersedia. Untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan-latihan berfikir yang benar berdasarkan metode-metode yang telah diakui kesahihannya. Hasil yang diperoleh dari kecakapan intelektual adalah daya intelektual, daya nalar atau daya pikir yang tajam pada diri seseorang yang membuahkan antara lain munculnya kemampuan daya kreativitas untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, untuk menciptakan berbagai karya seni, untuk mewujudkan buah pikiran baik secara lisan maupun tertulis, dan sebagainya. Kalau ada kelemahan, kesulitan atau hambatan dalam upaya penguasaan kemampuan intelektual, maka titik berat penanganannya perlu dimintakan bantuan kepada ahli pendidikan atau kepada guru.
c. Kemampuan emosional
Kemampuan emosional yang disebut juga kemampuan rasa dapat digambarkan sebagai kecakapan seseorang untuk menguasai cara menghadapi, cara berhubungan atau cara berdialog dengan perasaannya sendiri sebagai ciptaan Tuhan yang diberi martabat mulia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di planet bumi. Kecakapan untuk berdialog dengan perasaannya sendiri sangat diperlukan oleh seseorang untuk mampu meredam keinginan ego yang tidak terbatas dan selalu ingin berkuasa, mampu menata kekesalan dan kemarahan. Hasil yang diperoleh dari kecakapan untuk berdialog dengan perasaan secara umum adalah pemahaman tentang diri sendiri yang memiliki berbagai macam kelemahan dan kekurangan, akan tetapi juga memiliki beragam kekuatan dan kelebihan.
Kemampuan emosional juga dapat menghasilkan daya perasaan pada diri seseorang yang dapat berwujud antara lain bercita-cita, bersikap toleran, tidak sombong, menurut aturan, komitmen yang kuat, rendah hati, menerima kekurangan, perasaan kasih, perasaan sayang, perasaan cinta, perasaan suka, perasaan duka, perasaan simpati, perasaan empati, solidaritas, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan perasaan yang disebut olah rasa di dalam diri seseorang yang diharapkan melengkapi fungsi panca inderanya. Kalau ada kelemahan, kesulitan atau hambatan dalam upaya penguasaan kemampuan emosional, maka titik berat penanganannya perlu dimintakan bantuan kepada ahli kejiwaan, kepada psikolog atau kepada psikiater.
d. Kemampuan spiritual
Kemampuan spiritual, pertama dapat digambarkan sebagai kecakapan seseorang untuk menguasai cara menghadapi, cara berhubungan atau cara berdialog dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta atau Al-khalik, yang kasih sayangNya tidak bertepi karena sangat luasnya dan juga tidak berdasar karena teramat dalamnya, sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Kecakapan untuk berdialog dengan Tuhan melalui penyembahan, melalui berbagai usaha dan upaya sebagai ibadah, melalui doa, melalui keikhlasan untuk menurut kepada aturanNya, baik yang berupa perintah maupun yang berupa larangan, mensyukuri berbagai karunia yang telah diterima, bersabar untuk menerima cobaan yang dialami dalam kehidupan, dan bersikap tawakkal atas semua ketentuanNya, sangat diperlukan oleh seseorang untuk memperoleh ridho Tuhan. Kedua sebagai kecakapan untuk berdialog dengan ayat-ayat Tuhan baik yang tertulis di dalam Kitab-kitab Suci maupun yang tidak tertulis pada semua wujud ciptaanNya. Dalam bahasa sehari-hari kecakapan untuk berdialog agar dapat memperoleh ridho dari Sang Pencipta ini disebut sebagai kemampuan untuk hablun minallah. Hasil yang diperoleh dari kecakapan spiritual adalah daya spiritual pada diri seseorang sehingga mampu berdzikir, yaitu ingat kepada Tuhan yang dapat berwujud antara lain dalam iman, doa, syukur, sabar, tawakkal, ketulusikhlasan, optimisme, idealisme, dedikasi, kerja keras, menerima kegagalan, menghayati perhatian dan pengawasan Tuhan, menaruh pengharapan kepada Tuhan, berpikir untuk jangka panjang, dan sebagainya. Kalau ada kelemahan, kesulitan atau hambatan dalam mengembangkan kemampuan spiritual, maka titik berat penanganannya perlu dimintakan bantuan kepada ahli keagamaan atau kepada rohaniwan. Keseimbangan yang terpadu melebur dan menyatu antara kemampuan intelektual, kemampuan emosional dan kemampuan spiritual itulah yang dapat menghasilkan inti nilai-nilai moral yang tercermin pada diri seseorang sebagai kalbu yang bermoral.
6. Kecakapan untuk bermasyarakat
'Social skills' atau kecakapan untuk bermasyarakat diperlukan oleh seseorang untuk menguasai cara menghadapi, cara berhubungan atau cara berdialog dengan sesama manusia sebagai tempat untuk bersilaturahmi, untuk mewujudkan rasa kasih sayang yang dihasilkan oleh 'emotional skills'. Keterampilan untuk berdialog dengan sesama manusia diperlukan untuk mendapatkan ridlo sesama manusia dalam berkomunikasi dan bergaul dengan sesama manusia, seperti dalam mewujudkan bakti kepada kedua orang tua, dalam menjalin kasih sayang di dalam keluarga, dalam membina rumah tangga, dalam hidup bertetangga, dalam menjalin hubungan persahabatan dengan teman dekat, dalam menjalin hubungan kerja dengan sesama staf, dengan pimpinan, dengan bawahan dan sebagainya. Dalam bahasa sehari-hari kecakapan untuk bermasyarakat ini disebut sebagai kemampuan untuk bergaul dengan orang lain yang dikenal dengan hablun minannas.
Hasil dan kecakapan cara berdialog dengan sesama manusia antara lain adalah dapat menghargai berbagai macam perbedaan, dapat menghormati orang lain, dapat bekerja sama, dapat toleran atau tenggang rasa, dapat memberi maaf, dapat berbagi suka dan duka, dapat menyesuaikan diri, dan sebagainya. Kecakapan untuk bermasyarakat dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar masyarakat, yaitu masyarakat yang memiliki sifat khusus karena kedekatannya dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat yang lebih umum sifatnya dan lebih luas jangkauannya.
Kelompok masyarakat khusus terdiri atas keluarga, tetangga, teman dekat dan masyarakat di tempat bekerja. Adapun kelompok masyarakat umum mencakup masyarakat setempat atau lokal, masyarakat nasional sebagai bangsa, masyarakat regional dalam suatu kawasan, dan masyarakat global sebagai konsekuensi dari keberadaan seseorang dalam lingkungan kehidupannya di planet bumi ini sejak ia dilahirkan sampai dengan saat meninggal dunia.
7. Kecakapan untuk memelihara lingkungan
'Environmental skills' atau keterampilan untuk menghargai lingkungan diperlukan oleh seseorang untuk menguasai cara menghadapi, cara berhubungan atau cara berdialog dengan lingkungan, yaitu alam nyata atau alam wujud dan alam gaib, sebagai tempat manusia berdiri untuk menginjakkan dan melangkahkan kakinya dalam menempuh perjalanan hidup. Kecakapan untuk berdialog dengan lingkungan alam diperlukan untuk dapat menanggapi pengaruh lingkungan alam gaib dan memelihara serta melestarikan keberadaan lingkungan alam wujud.
Hasil dari keterampilan berdialog dengan lingkungan alam antara lain adalah kemampuan untuk menerima pengaruh positif alam kemalaikatan dan menolak pengaruh negatif alam keiblisan dari lingkungan alam gaib, dan kemampuan untuk dapat menikmati keindahan dan secara sadar menjaga alam wujud dengan senantiasa merawat kebersihan dan memelihara ketertiban lingkungan, dapat melestarikan keutuhan lingkungan, dan sebagainya. 'Personal skills', 'social skills' dan 'environmental skills' tersebut perlu dikembangkan secara simultan dalam rangka mewujudkan Kasih Sayang Tuhan yang telah 'bersemayam sebagai potensi di dalam kalbu setiap manusia sejak saat penciptaannya.
Semua kecakapan untuk berdialog itu akan menghasilkan nilai-nilai penting dalam kehidupan kepribadian seseorang, seperti dapat menghargai perbedaan, dapat menghargai kesamaan dan kebersamaan dalam kehidupan, dapat menghargai semua jenis pekerjaan halal apa saja, baik pekerjaan halus maupun kasar, pekerjaan yang lebih memerlukan kekuatan fisik, pekerjaan yang lebih memerlukan kekuatan intelektual atau pun jenis-jenis pekerjaan lain yang sangat beragam di antara keduanya.
8. Kecakapan untuk menguasai dan menyenangi pekerjaan
Kecakapan untuk bekerja mencari nafkah sebagai salah satu kewajiban dalam menjalani kehidupan disebut 'Vocational Skills' atau 'Occupational Skills'. Vocational Skills atau Occupational Skills dapat digambarkan sebagai kecakapan yang diperiukan oleh seseorang untuk bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal untuk menopang kelancaran perjalanan hidupnya.
Banyak sekali ragam bidang ketrampilan untuk bekerja yang sudah tersedia, yang sedang dikembangkan dan yang masih akan berkembang lagi, yang masing-masing dapat diperoleh atau dikuasai, baik melalui pendidikan formal di sekolah atau kursus maupun melalui pendidikan informal di dalam keluarga atau di dalam masyarakat.
Sebagai contoh untuk bidang-bidang vocational skills, antara lain adalah bidang boga, busana, kerajinan tangan, pertanian, seni tari, seni lukis, seni musik, seni teater, sains, teknologi, elektronika, olah raga, bahasa, sastra, komunikasi, transportasi, jasa, komputer, pariwisata, industri kecil, dan masih banyak lagi. Hasil yang diperoleh dari vocational skills antara lain adalah dikuasainya dengan baik salah satu jenis pekerjaan halal oleh seseorang sehingga diperoleh imbalan sebagai nafkah yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk melaksanakan 'Vocational Skills' atau 'Occupational Skills' ini diperlukan kemampuan physical, kemampuan intelektual, kemampuan emosional dan kemampuan spiritual sebagai komponen pendukung utama. Kemampuan bergaul sebagai buah dari social skills serta environmental skills merupakan komponen pendukung kedua. Dan kedua komponen pendukung ini merupakan kesatuan tak terpisahkan dari kemampuan untuk keberhasilan dalam bekerja mencari nafkah.
Kecakapan vokasional yang diperoleh melalui pendidikan informal di dalam keluarga atau masyarakat terdiri atas bermacam-macam jenis kecakapan mulai dari tingkat tenaga kasar, tingkat terampil sampai dengan tingkat mahir. Sedangkan Kecakapan vokasional yang diperoleh melalui pendidikan formal di dalam sekolah atau kursus terdiri atas beberapa tingkat keprigelan atau kemahiran yang berjenjang dan diakui secara resmi dengan kategori sebagai berikut.
a. Tingkat tidak terlatih (Pembantu Pelaksana) dikategorikan sebagai calon tenaga kerja yang unskilled - Lulusan Sekolah Dasar atau yang sederajad.
b. Tingkat Setengah Terlatih (Pelaksana) dikategorikan sebagai calon tenaga, semi skilled - Lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau yang sederajad dan Kusrus-kursus singkat Keterampilan Pra-vokasional.
c. Tingkat Juru (Juru Teknik) dikategorikan sebagai tradesman – Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, Sekolah Menengah Kedinasan, Sekolah Menengah Urnum.
d. Tingkat Teknisi (Pengatur) dikategorikan sebagai calon tenaga kerja trades technician - Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan dengan mendapat tambahan latihan khusus.
e. Tingkat Teknisi Ahli (Penata Ahli) dikategorikan sebagai calon tenaga kerja higher technician - Lulusan Politeknik, Akademi, Diploma pada Perguruan Tinggi.
f. Tingkat Sarjana (Profesional), dikategorikan sebagai calon tenaga kerja Profesional - Lulusan Perguruan Tinggi SI, S2 , sampai dengan S3. Kecakapan untuk menguasai pekerjaan pada urnumnya disiapkan sebagai pekerjaan utama yang akan ditekuni menjadi mata pencaharian untuk bekal mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidup. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan, bahwa seseorang dapat menguasai jenis pekerjaan tertentu hanya sebagai hobi.
9. Keterkaitan antar berbagai kecakapan untuk hidup
Keempat jenis kecakapan ini, yaitu 'personal skills', 'social skills', 'environmental skills' dan 'vocational skills' bersifat komplementer, saling melangkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari ada seseorang yang sangat menonjol dalam menguasai salah satu kemampuan kecakapan, narnun kurang dalam penguasaan kemampuan kecakapan lainnya. Ada juga yang kemampuan kecakapannya merata untuk kesernuanya. Yang lebih baik adalah yang seimbang dalam menguasai keempat jenis kecakapan tersebut. Adapun yang terbaik adalah penguasaan yang bukan saja seimbang, akan tetapi juga selaras atas 'personal skills', 'social skills', 'environmental skills' dan 'vocational skills', karena dengan keseimbangan dan keharmonisan itulah yang mampu mewujudkan hidup yang indah atau yang dikenal dengan 'the art of life' seperti diuraikan terdahulu.
Keempat jenis kecakapan tersebut merupakan 'general life skills' yang menjadi dasar kecakapan untuk mampu menjalani kehidupan. Kecakapan minimal tersebut masih terbuka luas untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan cakupan setiap spektrum dan fokusnya. Cakupan spektrum dari keempat bidang life' skills sebagaimana diuraikan di atas secara garis besar dapat dilihat pada diagram di halaman terakhir bagian pertama ini.
10. Implementasi pendidikan kecakapan untuk hidup
Dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang berorientasi pada kecakapan untuk hidup, maka fokus utama kegiatan pendidikan haruslah ditujukan untuk mempersiapkan para siswa agar memiliki kecakapan untuk hidup, agar mampu menempuh perjalanan hidup. Pendidikan formal dan non formal untuk mengembangkan keempat ’spektrum life skills' itu perlu dirancang ulang secara sistematis ke dalam kurikulum sekolah.
Untuk itu pengorganisasian kegiatan pembelajaran secara bertahap juga perlu mengacu kepada keempat bidang life skills itu dengan porsi alokasi waktu yang seimbang dan proporsional sesuai dengan jenjang, jenis dan jalur pendidikannya.
a. Bagaimana kurikulumnya ?
Oleh karena semua kegiatan pendidikan pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempersiapkan generasi muda anak-anak bangsa agar mampu menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya di kelak kemudian hari, maka kurikulum pada semua jenjang pendidikan dan jenis persekolahan haruslah mengarah kepada life skills education dengan porsi dan kadar yang serasi.
Struktur program kurikulum hendaknya juga menggambarkan keinginan kita sebagai bangsa untuk mewujudkan terkuasainya keempat jenis kecakapan dasar tersebut untuk memperkuat kecakapan-kecakapan yang telah diperoleh melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat. Penataan ulang ini hendaknya senantiasa mempertimbangkan kepentingan nasional sebagai suatu bangsa yang besar yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan dan jenis persekolahan secara nasional, narnun dengan mempertimbangkan juga kepentingan sekolah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Di dalam melaksanakan life skills education ini porsi untuk 'personal skills' dan 'vocational skills' diusahakan seimbang, misalnya masing-masing 40%. Narnun spektrum 'social skills' dan 'environmental skills' juga perlu dijamah secara merata, misalnya masing-masing 10% dari alokasi waktu ideal yang tersedia. Alokasi 40% untuk 'personal skills' perlu dijabarkan lagi untuk 'physical skills', 'intellectual skills', 'emotional skills' dan 'spiritual skills' secara proporsional. Sejumlah mata pelajaran yang selama ini sudah diajarkan di sekolah-sekolah sebaiknya tetap diteruskan untuk diajarkan, tetapi perlu ditata-ulang dan diarahkan untuk mendukung terwujudnya kemampuan setiap bidang kecakapan untuk menempuh perjalanan hidup.
Pendidikan keterampilan pada bidang 'vocational skills' harus benar-benar disesuaikan dengan keperluan nyata masing-masing sekolah bersama-sama masyarakat setempat sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi di bidang penyelenggaraan pendidikan.
Kamis,
Juni 19, 2008
Menurut Maramis (1998: 63) Kebutuhan
dan dorongan merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi perilaku seorang
manusia.
Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.
Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.
Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.
SUMBER STRES
Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:
1. Krisis
Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.
2. Frutrasi
Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.
3. Konflik
Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.
4. Tekanan
Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).
AKIBAT STRESS
Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.
PENANGGULANGAN STRESS
· Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
· Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
· Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
· ya.
· Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
· Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
· Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.
Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.
Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.
Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.
SUMBER STRES
Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:
1. Krisis
Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.
2. Frutrasi
Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.
3. Konflik
Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.
4. Tekanan
Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).
AKIBAT STRESS
Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.
PENANGGULANGAN STRESS
· Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
· Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
· Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
· ya.
· Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
· Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
· Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.
Senin,
Juni 16, 2008
Depresi didefinisikan secara berbeda
dengan kesedihan. Menurut Burns (1988), kesedihan adalah suatu emosi nomal yang
diciptakan oleh persepsi realistik yang menggambarkan suatu peristiwa negatif
dengan cara yang tidak terdistorsi. Sedangkan depresi adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh pemikiran yang terdistorsi. Jadi dalam hal ini Burns
menekankan pada perbedaan cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa
negatif yang dialaminya, dimana perbedaan tersebut akan mempengaruhi kondisi
psikologis individu didalam menanggapi realita yang ada.
Depresi dan kesedihan juga dapat dibedakan dari ukuran beat tidaknya tekanan jiwa yang dialami individu (Hinton, 1980). Tekanan jiwa yang berat akan mendatangkan beberapa variasi keluhan, mulai dari kesedihan ringan sampai pada keadaan dimana individu kehilangan semua minat terhadap aktifitas sehari-hari, yang juga tergantung pad adaya tahan individu yang bersangkutan. Suatu keadaan depresi dapat diketahui dari gejala dan tanda spesifik yang penting, yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang.
Depresi sebagai Reaksi terhadap Stres
Beberapa penelitian mengenai stres menujukkan bahwa terdapat hubungan antara stres kehidupan dengan gangguan psikiatris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Backman menyatakan bahwa, tanpa memandang status sosial ekonomi, semakin besar stress yang dialami individu, maka akan semakin besar pula resiko terjadinya gangguan psikiatris. Stressor yang dapat menimbulkan gangguian psikiatris tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Markush dan Favero, bahwa sterssor dalam bentuk peubahan kehidupan dapat menimbulkan suaana hati yang depresif dan gejal-gejala psikofisiologis (Ilfield, 1977).
Proses yang menghubungkan anatara stress dengan depresi dijelaskan oleh Zimbardo (dalam Ester Wuryaningsih, 1990) dalam model of stress yang menunjukkan bahwa individu akan melakukan berbagai bentuk reaksi terhadap stress yang dihadapi. Sumber-sumber stress dan stressor yang terjadi pada diri individu ataupun dalam lingkungannya, secara kognitif akan diproses oleh individu dimana proses kognitif yang terjadi akan dipengaruhi oleh karakteristik fisik, psikologis, dan budaya individu yang bersangkutan. Dengan proses kognitif itu, maka individu akan memberikan reaksi tertentu terhadap stress.
Depresi sebagai Gangguan Emosional dan Kognitif
Depresi dapat diawali oleh kesedihan yang normal sebagai reaksi terhadap suatu peristiwa yang menyedihkan, namun bila kesedihan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama maka emosi normal yang terjadidapat berubah menjkadi suatu gangguan yang disertai oleh gejal-gejala yang lain (Wittig, 1984). Gejala-gejala gangguan yang tampak pad individu yang mengalami depresi tersebut berakar dri adanya gangguan afek dan emosi yang menyebabkan fungsi individu menjadi terganggu.
Terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakan sesorang mengalami depresi atau tidak. Menurut Mandels (dalam Mears, 1984), seseorang dikatakan depresi jika ia mengalami gejala-gejala seperti rsa rsedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, konsentrasi dan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, beat badan turun, terjadi gangguan tidur, kehilangan dorongan seks, dan selalu ingin menghindari orang lain. Gejala-gejala depresi yang dikemukakan oleh Mnedels tersebut mengarah pada suatu kesimpulan bahwa seseorang dikatakan depresi apabila ia mengalami gangguan emosional yang berpengaruh terhadap suasana hati, cara berpikir, fungsi tubuh serta perilaku. Saat depresi , suasana hati individu diliputi rasa sedih, murung, cemas dan tertekan. Individu bahkan kehilangan minat dan gairah dalam melakukan bebagai aktifitas.
Definisi lain yang menyatakan depresi se4bagai gangguan emosional diungkapkan oleh Maramis (1998) yang menyatakan bahwa depresi adalah gangguan emosi yang diikuti oleh beberapa komponen psikologis seperti rasa sedih, rasa tidak berguna, tidak ada harapan, putus asa, dan penyesalan yang patologis. Perasaan depresi yang terjadi tersebut pada awalnya adalah merupakan emosi normal sebagai tanggapan alamiah atas kegagalan atau kehilangan yang dialami, namun karena terjadi secara berlebihan, emosi normal tersebut berubah menjadi keadaan depresi. Dinyatakan oleh Birren (1990), depresi melibatkan efek akibat dari kegagalan atau kehilangan itu terhadap emosi individu dan arti kehilangan tersebut bagi individu yang bersangkutan.
Selain sebagai gangguan emosi, depresi juga dinyatakan sebagai gangguan kognitif. Teori kognitif berasumsi bahwa depresi disebabkan karena bentuk-bentuk pemikiran yang tidak logis. Individu yang mengalami depresi cenderung berpikir dengan cara yang menyimpang dimana penyimpangan ini akan menimbulkan masalah baru, memperburuk keadaan yang ada, serta menyebabkan perputaran yang meningkatkan depresi.
Menurut pendekatan kognitif, individu yang mengalami depresi seringkali memiliki koginisi yang negatif, lebih suka memikirkan dirinya sendiri sehubungan dengan masa lalu yang negatif yang mungkin tidak ada hubungannya dengan saat ini dan dengan prediksi keadaan dimasa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Beck menghasilkan suatu kesimpulan bahwa keadan depresi pasti melibatkan suatu gangguan dalam pemikiran. Individu yang mengalami depresi memandang dirinya sebagai seorang yang “kalah”, sebgai pribadi yang tidak mampu, serta sebgai individu yang sudah ditakdirkan akan selalu mengalami frustasi, kekurangan, dan kegagalan (Burns, 1988).
Beck (dalam Carson, 1996) juga menyatakan bahwa pengalaman pada masa kanak-kanak dan remaja berperan penting dalam pembentukan depression-producing beliefs yang dibentuk melalui pengalamannya bersama orang tua dan orang lain yang dianggap penting (significant others). Seorang anak yang tidak memiliki orang tua atau yang mendapat pola asuh yang buruk dari orang tuanya, akan mengembangkan suatu keyakinan yang disebut sebagai deprssogenic schemas. Apabila dysfunctional belief tersebut diaktifkan oleh stressor yang ada pada saat ini, maka inidividu yang bersangkutan akan segera memunculkan negative cognitive triad, yakni suatu keyakinan yang sifatnya pesimistik yang meliputi:
1. pandangan yang negatif terhadap diri sendiri (self)
2. pandang yang negatif terhadap pengalaman dan dunia di sekitarnya
3. pandangan negatif terhadap masa depan
Negative cognitive triad ini cenderung untuk selalu ada pada individu yang mengalami depresi, karena adanya bebeapa distorsi dalam pemikiran orang-orang yang mengalami depresi yang meliputi:
1. Dichotomus or all-or-one reasioning. Adalah suatu kecenderungan untuk berpikir secara ekstrem. Misalnya: “apabila saya tidak dapat mengerjakannya dengan benar 100%, maka lebih baik saya tidak mengerjakannya sama sekali.
2. Selective Abstraction. Adalah kecenderungan untuk memfokuskan pada suatu kejadian negatif dengan mengabaikan elemen yang lainnya. Misalnya: “saya tidak mengalami hal yang menyenangkan hari ini.” Ungkapan tersebut karena individu hanya mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan yang dirasakannya hari itu.
3. Arbritary inference. Adalah suatu kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu yang hanya didasarkan pada suatu hal yang kecil. Misalnya penderita depresi yang tidak berhasil menyelesaikan suatu tugas dari terapisnya mengatakan: “terapis ini tidak penah menyelesaikan pemasalahanku”.
4. Overgeneralization. Adalah suatu kecenderungan untuk menarik kesimpulan tentang nilai dan kemampuan sesorang atau suatu fenomena semata-mata berdasarkan pada suatu kejadian atau kejadian-kejadian kecil yang ada di sekelilingnya. Misalnya: “semua yang saya lakukan selalu salah”.
Depresi dan kesedihan juga dapat dibedakan dari ukuran beat tidaknya tekanan jiwa yang dialami individu (Hinton, 1980). Tekanan jiwa yang berat akan mendatangkan beberapa variasi keluhan, mulai dari kesedihan ringan sampai pada keadaan dimana individu kehilangan semua minat terhadap aktifitas sehari-hari, yang juga tergantung pad adaya tahan individu yang bersangkutan. Suatu keadaan depresi dapat diketahui dari gejala dan tanda spesifik yang penting, yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang.
Depresi sebagai Reaksi terhadap Stres
Beberapa penelitian mengenai stres menujukkan bahwa terdapat hubungan antara stres kehidupan dengan gangguan psikiatris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Backman menyatakan bahwa, tanpa memandang status sosial ekonomi, semakin besar stress yang dialami individu, maka akan semakin besar pula resiko terjadinya gangguan psikiatris. Stressor yang dapat menimbulkan gangguian psikiatris tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Markush dan Favero, bahwa sterssor dalam bentuk peubahan kehidupan dapat menimbulkan suaana hati yang depresif dan gejal-gejala psikofisiologis (Ilfield, 1977).
Proses yang menghubungkan anatara stress dengan depresi dijelaskan oleh Zimbardo (dalam Ester Wuryaningsih, 1990) dalam model of stress yang menunjukkan bahwa individu akan melakukan berbagai bentuk reaksi terhadap stress yang dihadapi. Sumber-sumber stress dan stressor yang terjadi pada diri individu ataupun dalam lingkungannya, secara kognitif akan diproses oleh individu dimana proses kognitif yang terjadi akan dipengaruhi oleh karakteristik fisik, psikologis, dan budaya individu yang bersangkutan. Dengan proses kognitif itu, maka individu akan memberikan reaksi tertentu terhadap stress.
Depresi sebagai Gangguan Emosional dan Kognitif
Depresi dapat diawali oleh kesedihan yang normal sebagai reaksi terhadap suatu peristiwa yang menyedihkan, namun bila kesedihan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama maka emosi normal yang terjadidapat berubah menjkadi suatu gangguan yang disertai oleh gejal-gejala yang lain (Wittig, 1984). Gejala-gejala gangguan yang tampak pad individu yang mengalami depresi tersebut berakar dri adanya gangguan afek dan emosi yang menyebabkan fungsi individu menjadi terganggu.
Terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakan sesorang mengalami depresi atau tidak. Menurut Mandels (dalam Mears, 1984), seseorang dikatakan depresi jika ia mengalami gejala-gejala seperti rsa rsedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, konsentrasi dan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, beat badan turun, terjadi gangguan tidur, kehilangan dorongan seks, dan selalu ingin menghindari orang lain. Gejala-gejala depresi yang dikemukakan oleh Mnedels tersebut mengarah pada suatu kesimpulan bahwa seseorang dikatakan depresi apabila ia mengalami gangguan emosional yang berpengaruh terhadap suasana hati, cara berpikir, fungsi tubuh serta perilaku. Saat depresi , suasana hati individu diliputi rasa sedih, murung, cemas dan tertekan. Individu bahkan kehilangan minat dan gairah dalam melakukan bebagai aktifitas.
Definisi lain yang menyatakan depresi se4bagai gangguan emosional diungkapkan oleh Maramis (1998) yang menyatakan bahwa depresi adalah gangguan emosi yang diikuti oleh beberapa komponen psikologis seperti rasa sedih, rasa tidak berguna, tidak ada harapan, putus asa, dan penyesalan yang patologis. Perasaan depresi yang terjadi tersebut pada awalnya adalah merupakan emosi normal sebagai tanggapan alamiah atas kegagalan atau kehilangan yang dialami, namun karena terjadi secara berlebihan, emosi normal tersebut berubah menjadi keadaan depresi. Dinyatakan oleh Birren (1990), depresi melibatkan efek akibat dari kegagalan atau kehilangan itu terhadap emosi individu dan arti kehilangan tersebut bagi individu yang bersangkutan.
Selain sebagai gangguan emosi, depresi juga dinyatakan sebagai gangguan kognitif. Teori kognitif berasumsi bahwa depresi disebabkan karena bentuk-bentuk pemikiran yang tidak logis. Individu yang mengalami depresi cenderung berpikir dengan cara yang menyimpang dimana penyimpangan ini akan menimbulkan masalah baru, memperburuk keadaan yang ada, serta menyebabkan perputaran yang meningkatkan depresi.
Menurut pendekatan kognitif, individu yang mengalami depresi seringkali memiliki koginisi yang negatif, lebih suka memikirkan dirinya sendiri sehubungan dengan masa lalu yang negatif yang mungkin tidak ada hubungannya dengan saat ini dan dengan prediksi keadaan dimasa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Beck menghasilkan suatu kesimpulan bahwa keadan depresi pasti melibatkan suatu gangguan dalam pemikiran. Individu yang mengalami depresi memandang dirinya sebagai seorang yang “kalah”, sebgai pribadi yang tidak mampu, serta sebgai individu yang sudah ditakdirkan akan selalu mengalami frustasi, kekurangan, dan kegagalan (Burns, 1988).
Beck (dalam Carson, 1996) juga menyatakan bahwa pengalaman pada masa kanak-kanak dan remaja berperan penting dalam pembentukan depression-producing beliefs yang dibentuk melalui pengalamannya bersama orang tua dan orang lain yang dianggap penting (significant others). Seorang anak yang tidak memiliki orang tua atau yang mendapat pola asuh yang buruk dari orang tuanya, akan mengembangkan suatu keyakinan yang disebut sebagai deprssogenic schemas. Apabila dysfunctional belief tersebut diaktifkan oleh stressor yang ada pada saat ini, maka inidividu yang bersangkutan akan segera memunculkan negative cognitive triad, yakni suatu keyakinan yang sifatnya pesimistik yang meliputi:
1. pandangan yang negatif terhadap diri sendiri (self)
2. pandang yang negatif terhadap pengalaman dan dunia di sekitarnya
3. pandangan negatif terhadap masa depan
Negative cognitive triad ini cenderung untuk selalu ada pada individu yang mengalami depresi, karena adanya bebeapa distorsi dalam pemikiran orang-orang yang mengalami depresi yang meliputi:
1. Dichotomus or all-or-one reasioning. Adalah suatu kecenderungan untuk berpikir secara ekstrem. Misalnya: “apabila saya tidak dapat mengerjakannya dengan benar 100%, maka lebih baik saya tidak mengerjakannya sama sekali.
2. Selective Abstraction. Adalah kecenderungan untuk memfokuskan pada suatu kejadian negatif dengan mengabaikan elemen yang lainnya. Misalnya: “saya tidak mengalami hal yang menyenangkan hari ini.” Ungkapan tersebut karena individu hanya mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan yang dirasakannya hari itu.
3. Arbritary inference. Adalah suatu kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu yang hanya didasarkan pada suatu hal yang kecil. Misalnya penderita depresi yang tidak berhasil menyelesaikan suatu tugas dari terapisnya mengatakan: “terapis ini tidak penah menyelesaikan pemasalahanku”.
4. Overgeneralization. Adalah suatu kecenderungan untuk menarik kesimpulan tentang nilai dan kemampuan sesorang atau suatu fenomena semata-mata berdasarkan pada suatu kejadian atau kejadian-kejadian kecil yang ada di sekelilingnya. Misalnya: “semua yang saya lakukan selalu salah”.
0 komentar:
Posting Komentar